Mereka kaum Sufi meyakini bahwa Shalawat Nariyah memiliki faedah yakni:
“…Jika mendapat kesusahan karena kehilangan barang, hendaknya
membaca sholawat ini sebanyak 4444 kali. Insya Allah barang yang hilang
akan cepat kembali. Jika barang tersebut dicuri orang dan tidak
dikembalikan, maka pencuri tersebut akan mengalami musibah dengan
kehendak Allah swt. Setelah membaca Sholawat ini hendaknya membaca do’a
sebagai berikut (boleh dibaca dengan bahasa Indonesia): “ Ya Allah,
dengan berkah Sholawat Nariyah ini, saya mohon Engkau kembalikan barang
saya”. Doa ini dibaca 11 kali dengan hati yang penuh harap dan
sungguh-sungguh..”
Bagaimana tinjauan Syari’ah terhadap “Shalawat Nariyah” dari para
Ulama Ahlussunnah Waljama’ah?Berikut ini artikel yang ditulis oleh Al-Ustadz Abu Karimah Askari Al-Bugisi Hafidzahullah, semoga bisa menjadi pencerahan bagi kita semua.
Shalawat
jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di kalangan kaum muslimin.
Bahkan ada yang menuliskan lafadznya di sebagian dinding masjid. Mereka
berkeyakinan, siapa yang membacanya 4444 kali, hajatnya akan terpenuhi atau akan dihilangkan kesulitan yang dialaminya. Berikut nash shalawatnya:
اللَّهُمَّ
صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلىَ سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تُنْحَلُ بِهَ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ
وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ
الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلىَ
آلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju Wa tunaalu bihir raghaa’ibu wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghomaamu bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’luumin laka
“Ya Allah, berikanlah shalawat yang sempurna dan salam yang sempurna kepada Baginda kami Muhammad yang dengannya terlepas dari ikatan (kesusahan) dan dibebaskan dari kesulitan. Dan dengannya pula ditunaikan hajat dan diperoleh segala keinginan dan kematian yang baik, dan
memberi siraman (kebahagiaan) kepada orang yang sedih dengan wajahnya
yang mulia, dan kepada keluarganya, para shahabatnya, dengan seluruh
ilmu yang engkau miliki.”
Ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan kaitannya dengan shalawat ini:
1- Sesungguhnya
aqidah tauhid yang diseru oleh Al Qur’anul Karim dan yang diajarkan
kepada kita dari Rasulullah shallallahu laiahi wasallam, mengharuskan
setiap muslim untuk berkeyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya yang
melepaskan ikatan (kesusahan), membebaskan dari kesulitan, yang
menunaikan hajat, dan memberikan manusia apa yang mereka minta.
Tidak
diperbolehkan bagi seorang muslim berdo’a kepada selain Allah untuk
menghilangkan kesedihannya atau menyembuhkan penyakitnya, walaupun yang
diminta itu seorang malaikat yang dekat ataukah nabi yang diutus.
Telah disebutkan dalam berbagai ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan
haramnya meminta pertolongan, berdo’a, dan semacamnya dari berbagai
jenis ibadah kepada selain Allah Azza wajalla. Firman Allah:
قُلِ ادْعُوا الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُوْنِهِ فَلاَ يَمْلِكُوْنَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلاَ تَحِْويْلاً
“Katakanlah:
‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Maka
mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu
dan tidak pula memindahkannya.” (Al-Isra: 56)
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan segolongan kaum yang berdo’a kepada Al Masih ‘Isa, atau malaikat, ataukah sosok-sosok yang shalih dari kalangan jin. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/47-48)
2- Bagaimana
mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam rela dikatakan bahwa
dirinya mampu melepaskan ikatan (kesulitan), menghilangkan kesusahan,
dsb, sedangkan Al Qur’an menyuruh beliau untuk berkata:
قُلْ
لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ
وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا
مَسَّنِيَ السُّوْءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُوْنَ
“Katakanlah:
‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula)
menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku
mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya
dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (Al-A’raf: 188)
Seorang laki-laki
datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu mengatakan,
“Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka beliau bersabda:
أَجَعَلْتَنِيْ للهِ نِدًّا؟ قُلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ
“Apakah engkau
hendak menjadikan bagi Allah sekutu? Ucapkanlah: Berdasarkan kehendak
Allah semata.” (HR. An-Nasai dengan sanad yang hasan)
(Lihat Minhaj Al-Firqatin Najiyah 227-228, Muhammad Jamil Zainu)